Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Asal nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti "Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan", sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah "orang yang berdiam di sebelah barat". Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja. Kata Tana berarti 'negeri', sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan nama Tana Toraja.
Wilayah Tana Toraja juga digelari Tondok Lili'na Lapongan Bulan Tana Matari'allo, dengan arti harfiahnya "Negeri yang bulat seperti Bulan dan Matahari". Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (etnis Toraja).
Menurut mitos, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan "tangga dari langit" untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa - dalam bahasa Toraja).
Lain lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang antropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk lokal yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Tiongkok). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indochina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.
Aluk adalah merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa oleh kaum imigran dari dataran Indochina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.
Aluk biasa dihubungkan dengan kepercayaan masyarakat asli Toraja yang masih dipeluk oleh sebagian masyarakat Toraja saat ini. Salah satu contoh kebiasaan yang masih dipegang oleh penganut aluk adalah tidak memakan nasi pada saat upacara rambu solo'.
Aluk Sanda Saratu
Tokoh penting dalam penyebaran aluk ini antara lain: Tomanurun Tamboro Langi' yang merupakan pembawa aluk Sanda Saratu yang mengikat penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.
Aluk Sanda Pitunna
Wilayah barat
Tokoh penting dalam penyebaran aluk ini di wilayah barat Tana Toraja yaitu : Pongkapadang bersama Burake Tattiu' yang menyebarkan ke daerah Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga, dengan memperkenalkan kepada masyarakat setempat suatu pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja "to unnirui' suke pa'pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata sosial yang tidak mengenal strata.
Wilayah Timur
Di wilayah timur Tana Toraja, Pasontik bersama Burake Tambolang menyebarkannya ke daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta'bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan memperkenalkan pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : "To Unnirui' suke dibonga, To unkandei kandean pindan", yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.
Wilayah Tengah
Tangdilino bersama Burake Tangngana menyebarkan aluk ke wilayah tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial "To unniru'i suke dibonga, To ungkande kandean pindan".
Kesatuan adat
Seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo ( wilayah Tana Toraja) diikat oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo yang secara harafiahnya berarti "Negri yang bulat seperti bulan dan Matahari". Nama ini mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.
Karena perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok adat ters
Upacara adat
Di wilayah Kabupaten Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal , yaitu upacara adat Rambu Solo' (upacara untuk pemakaman) dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu', serta Ma'nene', dan upacara adat Rambu Tuka. Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka' maupun Rambu Solo' diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya.
Rambu Solo
Adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga yang almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.
[sunting] Tingkatan upacara Rambu Solo
Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:
* Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja.
* Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
* Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
* Dipapitung Bongi:Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan.
Upacara Tertinggi
Biasanya upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu sekurang kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya dalam pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan disebuah lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti : Ma'tundan, Ma'balun (membungkus jenazah), Ma'roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma'Parokko Alang (menurunkan jenazah kelumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma'Palao (yakni mengusung jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir).
Berbagai kegiatan budaya yang menarik dipertontonkan pula dalam upacara ini, antara lain :
* Ma'pasilaga tedong (Adu kerbau), kerbau yang diadu adalah kerbau khas Tana Toraja yang memiliki ciri khas yaitu memiliki tanduk bengkok kebawah ataupun [balukku', sokko] yang berkulit belang (tedang bonga), tedong bonga di Toraja sangat bernilai tinggi harganya sampai ratusan juta; Sisemba' (Adu kaki)
* Tari tarian yang berkaitan dengan ritus rambu solo' seperti : Pa'Badong, Pa'Dondi, Pa'Randing, Pa'Katia, Pa'papanggan, Passailo dan Pa'pasilaga Tedong; Selanjutnya untuk seni musiknya: Pa'pompang, Pa'dali-dali dan Unnosong.;
* Ma'tinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas masyarkat Toraja, yaitu dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas), biasanya kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu.
Kerbau Tedong Bonga adalah termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan endemik spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja. Ke-sulitan pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat plasma nutfah (sumber daya genetika) asli itu terancam kelestariannya.
Menjelang usainya Upacara Rambu Solo', keluarga mendiang diwajibkan mengucapkan syukur pada Sang Pencipta yang sekaligus menandakan selesainya upacara pemakaman Rambu Solo'.
Rambu Tuka
Upacara adat Rambu Tuka' adalah acara yang berhungan dengan acara syukuran misalnya acara pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru, atau yang selesai direnovasi; menghadirkan semua rumpun keluarga, dari acara ini membuat ikatan kekeluargaan di Tana Toraja sangat kuat semua Upacara tersebut dikenal dengan nama Ma'Bua', Meroek, atau Mangrara Banua Sura'.
Untuk upacara adat Rambu Tuka' diikuti oleh seni tari : Pa' Gellu, Pa' Boneballa, Gellu Tungga', Ondo Samalele, Pa'Dao Bulan, Pa'Burake, Memanna, Maluya, Pa'Tirra', Panimbong dan lain-lain. Untuk seni musik yaitu Pa'pompang, pa'Barrung, Pa'pelle'. Musik dan seni tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo' tidak boleh (tabu) ditampilkan pada upacara Rambu Tuka'.
Nilai Tradisi Vs Keagamaan
DALAM kepercayaan asli masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo, kesadaran bahwa manusia hidup di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu kuat. Prinsipnya, selama tidak ada orang yang bisa menahan Matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun tak mungkin bisa ditunda.
Sesuai mitos yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo; dunia arwah, tempat berkumpulnya semua roh. Letaknya di bagian selatan tempat tinggal manusia. Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang meninggal itu dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu didahului upacara penguburan sesuai status sosial semasa ia hidup. Jika tidak diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan tidak sempurna sesuai aluk (baca: ajaran dan tata cara peribadatan), yang bersangkutan tidak dapat mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.
"Agar jiwa orang yang ’bepergian’ itu tidak tersesat, tetapi sampai ke tujuan, upacara yang dilakukan harus sesuai aluk dan mengingat pamali. Ini yang disebut sangka’ atau darma, yakni mengikuti aturan yang sebenarnya. Kalau ada yang salah atau biasa dikatakan salah aluk (tomma’ liong-liong), jiwa orang yang ’bepergian’ itu akan tersendat menuju siruga (surga)," kata Tato’ Denna’, salah satu tokoh adat setempat, yang dalam stratifikasi penganut kepercayaan Aluk Todolo mendapat sebutan Ne’ Sando.
Selama orang yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan menjadi arwah dalam wujud setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa manusia yang telah meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang. Sambil menunggu korban persembahan untuknya dari keluarga dan kerabatnya lewat upacara pemakaman, arwah tadi dipercaya tetap akan memperhatikan dari dekat kehidupan keturunannya.
Oleh karena itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang berkaitan dengan kematian sedapat mungkin harus dijalankan sesuai ketentuan. Sebelum menetapkan kapan dan di mana jenazah dimakamkan, pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan korban pun harus disiapkan sesuai ketentuan. Pelaksanaannya pun harus dilangsungkan sebaik mungkin agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai upacara persembahan bagi tomebali puang mereka agar bisa mencapai puyo alias surga
Jika ada bagian-bagian yang dilanggar, katakanlah bila yang meninggal dunia itu dari kaum bangsawan namun diupacarakan tidak sesuai dengan tingkatannya, yang bersangkutan dipercaya tidak akan sampai ke puyo. Rohnya akan tersesat. Sementara bagi yang diupacarakan sesuai aluk dan berhasil mencapai puyo, dikatakan pula bahwa keberadaannya di sana juga sangat ditentukan oleh kualitas upacara pemakamannya. Dengan kata lain, semakin sempurna upacara pemakaman seseorang, maka semakin sempurnalah hidupnya di dunia keabadian yang mereka sebut puyo tadi.
To na indanriki’ lino
To na pake sangattu’
Kunbai lau’ ri puyo
Pa’ Tondokkan marendeng
Kita ini hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab, di puyo-lah negeri kita yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan hidup yang sesungguhnya.
Bisa dimaklumi bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak keluarga dan kerabat almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik. Caranya adalah dengan membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan pemotongan hewan-biasanya berupa kerbau dan babi-sebanyak mungkin. Para penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang yang meninggal dunia tadi menuju ke puyo.
Kepercayaan pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu padangan terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur. Masing-masing memiliki fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jika terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti dalam hal "mengurus dan merawat" arwah para leluhur, bencana pun tak dapat dihindari.
Berbagai bentuk tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para penganut kepercayaan Aluk Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat Tana Toraja yang sangat dikenal luas itu-kini pun masih bisa disaksikan. Meski terjadi perubahan di sana-sini, kebiasaan itu kini tak hanya dijalankan oleh para pemeluk Aluk Todolo, masyarakat Tana Toraja yang sudah beragama Kristen dan Katolik pun umumnya masih melaksanakannya. Bahkan, dalam tradisi penyimpanan mayat dan upacara kematian, terjadi semacam "penambahan" dari yang semula lebih sederhana menjadi kompleks dan terkadang berlebihan.
Sebagai contoh, ajaran Aluk Todolo menghendaki agar orang yang meninggal dunia harus segera diupacarakan dan secepatnya dikuburkan. Maksud dari ajaran ini, seperti dikutip oleh M Ghozali Badrie dalam penelitiannya tentang "Penyimpanan Mayat di Tana Toraja", supaya keluarga yang ditinggalkan dapat melaksanakan upacara-upacara lain yang bersifat kegembiraan. Sebab, adalah pamali atau melanggar ketentuan aluk bila upacara kegembiraan (rambu tuka’) dilaksanakan bila ada orang mati (to mate). Untuk mengatasi hal yang berlawanan ini, masyarakat Tana Toraja lalu mengatakan, mayat tersebut belum mati, tetapi dianggap sebagai orang yang masih sakit (to makula). Dengan begitu, mereka yang ingin melaksanakan upacara rambu tuka’ tidak terhalang hanya karena ada mayat di kampung tersebut.
Senin, 14 Desember 2009
Minggu, 13 Desember 2009
Hikayat dari Riau: Si Lancang
Alkisah tersebutlah sebuah cerita,di daerah Kampar pada zaman dahulu hiduplah si Lancang dengan ibunya. Mereka hidup dengan sangat miskin. Mereka berdua bekerja sebagai buruh tani.
Untuk memperbaiki hidupnya, maka Si Lancang berniat merantau. Pada suatu hari ia meminta ijin pada ibu dan guru ngajinya. Ibunya pun berpesan agar di rantau orang kelak Si Lancang selalu ingat pada ibu dan kampung halamannya. Ibunya berpesan agar Si Lancang jangan menjadi anak yang durhaka.
Si Lancang pun berjanji pada ibunya tersebut. Ibunya menjadi terharu saat Si Lancang menyembah lututnya untuk minta berkah. Ibunya membekalinya sebungkus lumping dodak, kue kegemaran Si Lancang.
Setelah bertahun-tahun merantau, ternyata Si Lancang sangat beruntung. Ia menjadi saudagar yang kaya raya. Ia memiliki berpuluh-puluh buah kapal dagang. Dikhabarkan ia pun mempunyai tujuh orang istri. Mereka semua berasal dari keluarga saudagar yang kaya. Sedangkan ibunya, masih tinggal di Kampar dalam keadaan yang sangat miskin.
Pada suatu hari, Si Lancang berlayar ke Andalas. Dalam pelayaran itu ia membawa ke tujuh isterinya. Bersama mereka dibawa pula perbekalan mewah dan alat-alat hiburan berupa musik. Ketika merapat di Kampar, alat-alat musik itu dibunyikan riuh rendah. Sementara itu kain sutra dan aneka hiasan emas dan perak digelar. Semuanya itu disiapkan untuk menambah kesan kemewahan dan kekayaan Si Lancang.
Berita kedatangan Si Lancang didengar oleh ibunya. Dengan perasaan terharu, ia bergegas untuk menyambut kedatangan anak satu-satunya tersebut. Karena miskinnya, ia hanya mengenakan kain selendang tua, sarung usang dan kebaya penuh tambalan. Dengan memberanikan diri dia naik ke geladak kapal mewahnya Si Lancang.
Begitu menyatakan bahwa dirinya adalah ibunya Si Lancang, tidak ada seorang kelasi pun yang mempercayainya. Dengan kasarnya ia mengusir ibu tua tersebut. Tetapi perempuan itu tidak mau beranjak. Ia ngotot minta untuk dipertemukan dengan anaknya Si Lancang. Situasi itu menimbulkan keributan.
Mendengar kegaduhan di atas geladak, Si Lancang dengan diiringi oleh ketujuh istrinya mendatangi tempat itu. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa perempuan compang camping yang diusir itu adalah ibunya. Ibu si Lancang pun berkata, "Engkau Lancang ... anakku! Oh ... betapa rindunya hati emak padamu. Mendengar sapaan itu, dengan congkaknya Lancang menepis. Anak durhaka inipun berteriak, "mana mungkin aku mempunyai ibu perempuan miskin seperti kamu. Kelasi! usir perempuan gila ini."
Ibu yang malang ini akhirnya pulang dengan perasaan hancur. Sesampainya di rumah, lalu ia mengambil pusaka miliknya. Pusaka itu berupa lesung penumbuk padi dan sebuah nyiru. Sambil berdoa, lesung itu diputar-putarnya dan dikibas-kibaskannya nyiru pusakanya. Ia pun berkata, "ya Tuhanku ... hukumlah si Anak durhaka itu."
Dalam sekejap, turunlah badai topan. Badai tersebut berhembus sangat dahsyatnya sehingga dalam sekejap menghancurkan kapal-kapal dagang milik Si Lancang. Bukan hanya kapal itu hancur berkeping-keping, harta benda miliknya juga terbang ke mana-mana. Kain sutranya melayang-layang dan jatuh menjadi negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Gongnya terlempar ke Kampar Kanan dan menjadi Sungai Oguong. Tembikarnya melayang menjadi Pasubilah. Sedangkan tiang bendera kapal Si Lancang terlempar hingga sampai di sebuah danau yang diberi nama Danau Si Lancang.
Dinukil dari www.budaya-indonesia.or
Untuk memperbaiki hidupnya, maka Si Lancang berniat merantau. Pada suatu hari ia meminta ijin pada ibu dan guru ngajinya. Ibunya pun berpesan agar di rantau orang kelak Si Lancang selalu ingat pada ibu dan kampung halamannya. Ibunya berpesan agar Si Lancang jangan menjadi anak yang durhaka.
Si Lancang pun berjanji pada ibunya tersebut. Ibunya menjadi terharu saat Si Lancang menyembah lututnya untuk minta berkah. Ibunya membekalinya sebungkus lumping dodak, kue kegemaran Si Lancang.
Setelah bertahun-tahun merantau, ternyata Si Lancang sangat beruntung. Ia menjadi saudagar yang kaya raya. Ia memiliki berpuluh-puluh buah kapal dagang. Dikhabarkan ia pun mempunyai tujuh orang istri. Mereka semua berasal dari keluarga saudagar yang kaya. Sedangkan ibunya, masih tinggal di Kampar dalam keadaan yang sangat miskin.
Pada suatu hari, Si Lancang berlayar ke Andalas. Dalam pelayaran itu ia membawa ke tujuh isterinya. Bersama mereka dibawa pula perbekalan mewah dan alat-alat hiburan berupa musik. Ketika merapat di Kampar, alat-alat musik itu dibunyikan riuh rendah. Sementara itu kain sutra dan aneka hiasan emas dan perak digelar. Semuanya itu disiapkan untuk menambah kesan kemewahan dan kekayaan Si Lancang.
Berita kedatangan Si Lancang didengar oleh ibunya. Dengan perasaan terharu, ia bergegas untuk menyambut kedatangan anak satu-satunya tersebut. Karena miskinnya, ia hanya mengenakan kain selendang tua, sarung usang dan kebaya penuh tambalan. Dengan memberanikan diri dia naik ke geladak kapal mewahnya Si Lancang.
Begitu menyatakan bahwa dirinya adalah ibunya Si Lancang, tidak ada seorang kelasi pun yang mempercayainya. Dengan kasarnya ia mengusir ibu tua tersebut. Tetapi perempuan itu tidak mau beranjak. Ia ngotot minta untuk dipertemukan dengan anaknya Si Lancang. Situasi itu menimbulkan keributan.
Mendengar kegaduhan di atas geladak, Si Lancang dengan diiringi oleh ketujuh istrinya mendatangi tempat itu. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa perempuan compang camping yang diusir itu adalah ibunya. Ibu si Lancang pun berkata, "Engkau Lancang ... anakku! Oh ... betapa rindunya hati emak padamu. Mendengar sapaan itu, dengan congkaknya Lancang menepis. Anak durhaka inipun berteriak, "mana mungkin aku mempunyai ibu perempuan miskin seperti kamu. Kelasi! usir perempuan gila ini."
Ibu yang malang ini akhirnya pulang dengan perasaan hancur. Sesampainya di rumah, lalu ia mengambil pusaka miliknya. Pusaka itu berupa lesung penumbuk padi dan sebuah nyiru. Sambil berdoa, lesung itu diputar-putarnya dan dikibas-kibaskannya nyiru pusakanya. Ia pun berkata, "ya Tuhanku ... hukumlah si Anak durhaka itu."
Dalam sekejap, turunlah badai topan. Badai tersebut berhembus sangat dahsyatnya sehingga dalam sekejap menghancurkan kapal-kapal dagang milik Si Lancang. Bukan hanya kapal itu hancur berkeping-keping, harta benda miliknya juga terbang ke mana-mana. Kain sutranya melayang-layang dan jatuh menjadi negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Gongnya terlempar ke Kampar Kanan dan menjadi Sungai Oguong. Tembikarnya melayang menjadi Pasubilah. Sedangkan tiang bendera kapal Si Lancang terlempar hingga sampai di sebuah danau yang diberi nama Danau Si Lancang.
Dinukil dari www.budaya-indonesia.or
Langganan:
Postingan (Atom)